Oleh Yahma
Muhammad Sakti
(Mahasiswa FTI Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh November
Surabaya)
Krisis
energi merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi Bangsa Indonesia saat
ini. Sumber energi fosil berupa minyak bumi, gas alam dan batu bara yang selama
ini dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari baik untuk keperluan
rumah tangga maupun untuk keperluan industri dan transportasi semakin menipis
seiring dengan bertambahnya waktu. Sedangkan dari data grafik konsumsi energi
pada tahun 1970 hingga 2002 di bawah ini, menunjukkan bahwa kebutuhan energi
yang harus dipenuhi masyarakat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun
terlebih pada sumber energi berupa minyak bumi.
Sumber
energi fosil merupakan energi yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable energy) atau tidak dapat
diperoleh kembali setelah digunakan, maka diperkirakan beberapa tahun ke depan
ketersediaan sumber energi tersebut akan habis di alam. Menurut perkiraan, batubara
akan habis 50 tahun lagi, gas alam 30 tahun lagi dan minyak bumi 11 tahun lagi.
Terbatasnya alat pemuas kebutuhan manusia dalam hal ini adalah sumber energi
fosil sedangkan kebutuhan manusia itu sendiri banyak dan harus terpenuhi, tentu
saja akan menimbulkan akibat fatal jika hal tersebut dibiarkan berlarut – larut
tanpa adanya upaya penanggulangan, yaitu antrian berjam – jam di depan halaman
SPBU yang memungkinkan munculnya tindakan anarkis di kalangan masyarakat karena
berebutan demi memperoleh BBM langka yang tersedia untuk kebutuhan hidupnya,
penyaluran BBM yang tidak merata, timbulnya masalah kriminalitas oleh oknum
yang memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan pribadi dengan cara menimbun
BBM dan lain sebagainya. Oleh karena itu, untuk meminimalkan dampak yang akan
terjadi kemudian, pemerintah melakukan impor minyak mentah dari luar negeri.
Dengan demikian, diharapkan kebutuhan manusia tetap terpenuhi dan keterbatasan
sumber energi fosil dapat ditanggulangi. Namun sangat disayangkan bahwa usaha
pemerintah tersebut kurang menguntungkan dalam jangka panjang karena dengan
melakukan impor berarti menambah biaya transportasi, biaya angkut, pajak dan
lain sebagainya, belum lagi nominal mata uang dolar yang meningkat dari tahun
ke tahun memungkinkan semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Sebenarnya,
tidak akan menjadi masalah besar jika saja harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang
nantinya disalurkan ke masyarakat dijual dengan harga mahal. Mungkin saja
keuntungan dapat diraih atau paling tidak bisa menutupi keseluruhan pengeluaran
biaya pengadaan BBM tersebut ditambah dengan subsidi dari pemerintah yang semuanya
sudah tentu melalui perhitungan yang cermat. Namun masalah lain akan muncul
yakni masalah kemiskinan di kalangan masyarakat, utamanya masyarakat kecil yang
sehari – harinya berprofesi sebagai buruh, petani, nelayan dan sebagainya yang
penghasilannya tentu saja tidak begitu besar dibandingkan dengan mereka –
mereka yang bekerja di lembaga kemasyarakatan. Kalau sudah begini, jangankan
untuk makan, membeli BBM saja tidak sanggup. Harapan mereka kemiskinan segera
dituntaskan, namun pada kenyataannya kemiskinan bukannya tuntas, tetapi malah
semakin merajalela. Dengan demikian, untuk kasus ini Indonesia benar – benar
terhimpit sedangkan pemerintah berada pada posisi yang sulit sehingga perlu
adanya suatu solusi alternatif lain untuk menangani masalah krisis energi tanpa
menimbulkan masalah baru di berbagai pihak. Selain hal – hal yang telah
dijelaskan di atas, minimnya kapasitas produksi pabrik pengolahan minyak mentah
juga turut memberikan pengaruh terhadap masalah krisis energi. Dengan demikian,
pemerintah harus mengupayakan bagaimana cara meningkatkan kapasitas produksi
jika pada saatnya telah ditemukan solusi menghadapi keterbatasan sumber energi
fosil.
Di tengah – tengah
bergemingnya masalah krisis energi di tanah air, Bahan Bakar Nabati (BBN) hadir
sebagai sebuah solusi tepat dalam menangani masalah tersebut. Biodiesel,
bioetanol, biogas dan briket yang akhir – akhir ini mulai ditemukan oleh kaum
intelek telah membuka asa dan harapan bagi Indonesia untuk segera bangkit dari
masalah krisis energi. Manfaat dari BBN pun ini ternyata cukup menjanjikan
untuk masa depan Indonesia kelak. Dengan adanya BBN ini, tidak hanya masalah
krisis energi yang teratasi, tetapi juga masalah kemiskinan, keterbatasan bahan
baku SDA yang selanjutnya diolah menjadi bahan bakar, efisiensi pemanfaatan
sumber daya alam yang kurang bermanfaat menjadi lebih bermanfaat dengan tujuan
meningkatkan nilai tambah dan mutunya serta manfaat lainnya yaitu dapat menciptakan generasi penerus yang
kristis menghadapi tantangan dunia, kreatif dan inovatif dalam menemukan
penemuan – penemuan baru yang berguna bagi Bangsa Indonesia di kemudian hari.
Pada dasarnya, bahan
baku utama dari BBN tersebar luas hampir di seluruh wilayah Indonesia karena
ntayanya Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah. Dengan
demikian, BBN mudah diperoleh dan harganya relatif lebih murah dibandingkan
dengan bahan baku BBM. Biodiesel yang fungsinya dapat menggantikan solar
sebagai bahan bakar kendaraan bermesin diesel seperti truk angutan berat dapat
dibuat dari tanaman jarak pagar, minyak jelantah yang sudah tidak layak pakai,
kelapa, sirsak, srikaya, kapuk dan alga. Akhir Mei 2011, Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM), Darwin Zahedy Saleh di dampingi Direktur Jenderal
Mineral dan Batubara, Thamrin Sihite meresmikan Biodiesel Fuel Plant yang beroperasi di Site PT. Adaro Indonesia,
Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tabalong, Tanjung, Provinsi Kalimantan
Selatan.
Lain halnya dengan
bioetanol, bahan bakar ini bisanya dicampurkan dengan bahan bakar bensin untuk
meningkatkan bilangan oktan seperti zat aditif Methyl Tertiary Buthyl Ether
(MTBE) dan Tetra Ethyl Lead (TEL) sehingga dapat meningkatkan efisiensi
pembakaran mesin kendaraan dan mengurangi emisi gas buang berbahaya. Bioetanol
berbahan dasar jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan tebu. Untuk biogas yang biasanya
digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, terbuat dari sampah organik seperti
kotoran sapi atau kerbau sedangkan briket merupakan bahan bakar padat yang
salah satunya dapat dibuat dari batok kelapa atau tempurung kelapa
(www.chem-is-try.org). Mengingat mudahnya memperoleh sumber bahan baku utama
BBN, pemerintah tidak lantas diam saja menunggu panen kemudian memetik tanpa
adanya upaya pengembangan tanaman dan ternak yang berpotensi menghasilkan
sumber energi tersebut. Melainkan perlu adanya suatu program budidaya tanaman
penghasil biodiesel, bioetanol dan briket serta pemeliharaan hewan – hewan ternak penghasil biogas.
Dalam memenuhi program
tersebut, tentu saja memerlukan peranan dari masyarakat kecil seperti para
petani. Hal ini disamping membantu pemerintah, juga membantu meningkatkan taraf
hidup para petani yang selama ini pendapatannya tidak seberapa besar. Dengan
bekerja mengolah lahan seluas beberapa hektar bersama pemerintah, dimungkinkan
pendapatan mereka bertambah ketimbang pendapatan yang dihasikan dari penjualan
hasil panen mereka sebelumnya yang diperoleh dengan susah payah.
Pemanfaatan BBN sebagai
sumber energi alternatif masa depan mendatangkan sisi positif di mata
masyarakat yang tidak peduli dengan sampah – sampah yang acap kali mereka temui
sepanjang jalan. Setidaknya dengan adanya BBN ini, masyarakat berpikir dua kali
untuk mengacuhkan sampah – sampah tersebut yang kenyataannya dapat mendatangkan
keuntungan bagi mereka. Selama ini, mungkin mereka membiarkan sampah – sampah
organik seperti sampah sayuran, limbah tahu dan sebagainya berserakan dimana –
mana. Tetapi setelah tahu bahwa sampah tersebut dapat diolah menjadi bioetanol
dan biogas serta meningkatkan nilai manfaatnya dari sesuatu yang kurang berguna
menjadi sesuatu yang lebih berguna, sehingga tumbullah kepedulian di dalam diri
mereka. Dengan demikian, jelaslah bahwa BBN juga akan mencetak masyarakat
Indonesia yang kreatif dan inovatif dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya.
Menilik pada potensi
negara Indonesia yang besar terutama untuk ketersediaan bahan baku, sudah
sepantasnya negara Indonesia berani menunjukkan potensinya kepada dunia sebagai
negara penghasil bioenergi dunia. Berbagai tantangan kedepannya dalam
pengembangan bioenergi ini, terutama pada aspek modal, pengembangan teknologi,
permasalahan hambatan sosial, dan keterbatasan pasar dan penguna sudah
seharusnya menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, kaum intelek
dan pihak-pihak terkait untuk mencari solusinya. Diharapkan dalam 100 tahun ke
depan, Indonesia dapat menjadi jawara dunia dalam bidang energi. Dalam mencapai
harapan tersebut, harus disadari bahwa keberhasilan tidak datang dengan
sendirinya, tetapi merupakan suatu hasil kerja keras dari semua pihak.
0 komentar:
Posting Komentar