Oleh Lukman Hakim
(Mahasiswa
Jurusan Akidah Filsafat Fak. Ushuluddin Iain Raden Fatah Palembang)
Awal
2010. Gedung yang didominasi warna hijau itu riuh oleh tetamu. Saya juga di
sana, terpacak di tengah ribuan orang yang tak semua saya kenal. Waktu itu,
bukan di tempat ini belaka, semua orang tanpa komando serentak menggelar
seremoninya masing-masing. Sore hari
saya memelototi tivi. Di sana-sini, di masjid, di gereja, di klenteng,
di wihara, dan di tempat-tempat yang lain, banyak digelar acara dengan variasi
bermacam-macam. Semua pada intinya bermaksud menyenandungkan doa. Ya, ritual
permohonan kepada “tuhan” teruntuk tokoh yang empat puluh harinya kami
peringati pada malam hari itu; Gus Dur. Mantan Presiden Kyai Haji Abdurrahman
Wahid yang wafat pada 30 Desember 2009.
Berangkat
dengan motor dan setelah menempuh perjalanan selama beberapa menit, sampailah
saya di kantor Pengurus Wilayah sebuah
organisasi sosial keagamaan besar. Saya membayangkan sebelumnya, di markas kaum
islam tradisional, di pusat kota Palembang itu, seperti biasa saya akan bersua
dengan sang Rais Syuriah. Atau kalau bukan, barangkali saya akan bertemu dengan
Ketua Tanfidziyah. Dan selain mereka berdua, masih laik lazimnya, saya akan
berjumpa dengan sesama kaum sarungan; warga yang memang mencapai lebih dari
seribu pada saat itu. Tetapi saya mulai terhenyak, di ruang lobi, ruang yang
harus Anda lalui sebelum menuju aula lokasi tahlil dan doa bersama,
puluhan perempuan muda berkostum putih-putih duduk berjajar mengawasi para tamu
yang masuk. Sementara alunan shalawat Nabi masih didentumkan oleh sound
system, kedua bola mata saya terpahat pada liontin salib yang mereka
kenakan. Saya terperanjat, astaghfirullah, bagaimana bisa para
suster gereja ini berada di sini, di antara ribuan muslim yang bisa dibilang “fanatik”
ini? Bagaimana mungkin kami duduk berdampingan dengan mereka?
Ah,
saya kira letup-letup perasaan ini hanya kepunyaan saya belaka. Buktinya,
saudara-saudara saya yang seiman tampak baik-baik saja. Setidak-tidaknya
situasi terlihat tertib. Tidak ditemukan gejala “permusuhan” dalam artinya yang
sangat harfiyah, meski kami tak bisa menafikan kesan dingin yang menyelimuti
langit-langit pertemuan pada malam hari itu. Kedua umat tak saling sapa. Kedua
umat tak saling bicara. Seperti ada garis maya yang membuat setiap orang hanya
mungkin berinteraksi dengan kelompoknya masing-masing.
Isya
menjelang. Para tamu, kami dan mereka, sudah memasuki ruangan. Adzan
dikumandangkan dan kaum muslim mendirikan kewajiban shalat. Di sudut sana, para
suster berikut belasan orang laki-laki termangu bersila. Saya merasa risih,
tentu saja. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika suatu saat
nanti saya bertemu kembali dengan mereka. Saat itu, jumlah mereka lebih banyak
daripada kelompok yang saya bawa. Di situ, tanpa memedulikan keberadaan kami,
mereka mengadakan kebaktian. Sementara itu kami harus menunggu dan menikmati
“pemandangan” asing tersebut.
Seperti
itulah kira-kira yang terjadi pada seremoni doa bersama malam hari itu. Acara
berlangsung serba sederhana dan serba kaku. Saya menduga panitia memang tidak
atau belum memiliki persiapan yang cukup untuk mengakali pertemuan kedua kubu. Saya
juga menduga, panitia yang terdiri dari orang-orang muslim itu tidak mengadakan
komunikasi sebelumnya dengan tamu non muslim sehingga acara pun berjalan
monolog ala orang islam. Ada tahlil yang panjang, ada doa penutup oleh
seorang habib. Bapak pastor tak
mengucap barang sepatah kata. Tidak ada yang menginterupsi perihal “hak”. Tidak
dari kami, tidak pula mereka. Yang tersisa cuma serba serbi rasa.
Demikianlah
sejumput ilustrasi yang menggambarkan betapa dingin dan kakunya sikap kita
dalam hal berinteraksi lintas iman. Lebih-lebih dalam soal menyangkut
ritualitas seperti pada kasus di atas, perasaan yang sama juga acap muncul di tengah
pergaulan masyarakat. Ada semacam batasan, ada gap, berupa
perasaan-perasaan tak enak ketika berdampingan dengan penganut agama lain.
Perasaan yang sama sekali tidak kita temui ketika kita bergumul dengan sesama
kita sendiri.
Orang
ramai bisa saja menyebutnya wasangka. Ketika kita berupaya mengambil jarak dari
sesuatu yang lain karena, misalnya, takut. Orang lain boleh jadi menamainya
pertahanan diri (self defense). Gerak refleks yang dimunculkan oleh
tubuh seketika bersentuhan dengan segala yang asing. Saya, oleh sebab
barangkali pengalaman-pengalaman pribadi, lebih senang menyebutnya alergi.
Ancaman sesungguhnya bagi perkembangan ide toleransi.
***
Kita
mungkin bisa berpura-pura mendendangkan beragam jargon untuk mengampanyekan ide
toleransi beragama. Kita mungkin bisa menyembunyikan pelbagai jenis kompleks
psikologis pada saat mendukung wacana kerukunan antar umat beragama. Kita
mungkin bisa nampak sangat harmonis, duduk sama rendah bersama dengan pemeluk
agama lain. Tetapi betulkah kita bisa memungkiri gurat-gurat perasaan, yang
mungkin hanya kita rasakan sendiri, dan yang tadi saya sebut dengan istilah
alergi?
Ah,
sayang sekali, dengan jujur saya akui saya tak mampu. Saya memang tidak dan
belum pernah secara langsung menanyakan apakah perasaan yang sama juga dimiliki
oleh para pioner toleransi beragama. Tetapi haqqul yakin, sindrom alergi
seperti ini masih menjadi wabah di kalangan bukan elit, tempat di mana saya
sekarang bermukim. Ya, saya berani bertaruh.
Ambil
misal sederhana. Suatu saat kami yang memang gandrung menghibur diri dengan
menonton tivi, dibikin terpesona oleh kehebatan berakting dari seorang
aktris sebutlah bernama A. Bukan saja jago akting, paras wajah si A juga enak
dilihat. Pokoknya kami ngefans. Tapi itu dulu, sebelum kami mengetahui
kenyataan bahwa si A tidak menganut keyakinan yang serupa dengan kami. Setelah
itu, sesudah kami semua tahu, kecintaan kami pada sang artis perlahan mulai
menurun. Jika pun kami masih suka melihat film-filmnya, semua sudah tak lagi sama.
Rasanya sudah berbeda.
Pertanyaannya,
mengapa kita kerap bias teologis dalam memandang keberadaan seseorang? Lantas
kenapa setiap orang yang berbeda, lebih-lebih perbedaan agama, selalu kita
nilai dengan nalar yang dipenuhi alergi?
Hemat
saya, sejak awal memang ada yang keliru dengan pola penanaman akidah dalam
realitas masyarakat kita. Sedari mula orang-orang tua kita, termasuk juga
guru-guru kita, menabur benih keyakinan dengan cara memberangus keberadaan
keyakinan lain. Pendeknya, agar keyakinan keberagamaan tertanam dengan kuat,
satu hal paling penting yang musti diketahui oleh anak atau murid seperti kita
adalah dengan melansir kesalahan dan atau keburukan agama lain.
Ya,
kita terbiasa membuktikan kebenaran sesuatu dengan cara menyebutkan kesalahan hal
yang lain. Dalam ilmu logika saja sebetulnya ini sudah keliru. Argumentum ad
Hominem, salah satu dari banyak macam sesat pikir. Tetapi imbas yang lebih
buruk adalah terbentuknya kesadaran psikologis betapa penganut agama lain itu
“menjijikkan” (sebab hanya agama saya sajalah yang suci?).
Memang
dalam konteks berkeyakinan, kita hanya harus meyakini satu saja agama yang
benar, yakni agama kita, dan yang lain salah. Tetapi terus menerus membuhulkan
kesalahan-kesalahan agama lain juga bukan sesuatu yang elok. Barangkali kita
berargumentasi bahwa dengan begini kita sedang membikin benteng buat keyakinan
keberagamaan kita. Alih-alih kastil yang kukuh, kita malah membangun istana
dari reruntuhan. Coba bayangkan, bagaimana jika suatu saat nanti kita mendapati
agama yang dulu kita jelek-jelekkan itu ternyata berkebalikan dengan citra
buruk yang selama ini terbangun? Bukankah kita akan lebih mudah berbalik arah?
Efek negatif yang lain, yang menjadi sentral perbincangan kita, jika pun
benteng itu dapat terbangun dengan kukuh, maka iman yang dihasilkan pun berupa
keyakinan yang sudah terkontaminasi oleh dosa-dosa yang lain. Salah satunya
adalah dosa kebencian atau yang di atas saya sebut dengan alergi. Akibat
praktisnya dapat kita lihat dalam sikap-sikap intoleran, bahkan terkadang
mewujud dalam kekerasan atas nama agama. Yang lebih ringan adalah, bahasa
islamnya, su’u dzon (buruk sangka).
Sekecil
apapun alergi macam ini, apabila kita terus menerus merawatnya, tidak akan
memberikan hasil apapun yang lebih baik. Dalam hal kampanye toleransi antar
umat beragama, kita boleh saja di depan media, di hadapan khalayak, termasuk
kalangan yang berteriak lantang. Tetapi ketika kembali ke tengah-tengah kaum
kita sendiri, kita masih juga berbisik tentang kejelekan-kejelekan mereka,
kebanyakan dalam format kelakar-kelakar ringan.
Bagi
saya, toleransi yang didirikan secara setengah hati, yang dipenuhi oleh citra
alergi, seperti ini adalah toleransi yang rentan. Bangunan toleransi beragama
yang telah didirikan dengan susah payah akan seketika ambruk diterjang oleh
setitik kesalahpahaman, provokasi, mis-komunikasi, dan lain-lain.
***
Saya
amat tertarik dengan ajaran yang diberikan oleh tokoh ibu dalam film My Name
is Khan. Rizwan kecil suatu kali hampir saja dijangkiti sindrom alergi
seperti telah saya sebut-sebut, kalau saja sang Ibu tak segera memergokinya. Singkat
cerita, sang ibu lantas memberikan pelajaran amat berharga yang bahkan masih
diingat Rizwan pada saat ia dewasa kelak. Pada buku tulis sang ibu menggambar
dua sosok manusia. Seorang memegang permen, orang yang lain membawa kayu. Ibu
bertanya kepada Rizwan, “manakah dari kedua orang itu yang beragama Islam?”.
Rizwan menjawab, “Keduanya nampak sama”. Betul, tegas sang ibu, tidak ada
perbedaan selain perbedaan antara orang baik (yang memberi permen) dan orang
jahat (yang memukul dengan kayu).
Diakui
atau tidak, kita kerap mengategorisasi manusia berdasarkan pada agama yang
dipeluknya. Ini tidak menjadi soal selagi kita mampu menghilangkan alergi yang
masih menjangkit di hati. Selebihnya, kita memerlukan pendidikan toleransi beragama
sedari dini. Metode-metode pembelajaran yang tak elok harus segera disudahi.
Jangan ajari anak-anak kita membenci. Jangan memperanakkan alergi. Kebangkitan
Indonesia bisa kita mulai dari sini.
####
0 komentar:
Posting Komentar