Jumat, 10 Februari 2012

Indonesia Sebagai Negara Kepulauan 100 Tahun Mendatang



Oleh Humala Paulus Halim
(Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Universitas Indonesia)

Perubahan iklim dewasa ini telah menjadi isu utama dan permasalahan bagi banyak negara, khususnya Indonesia. Efek dari perubahan iklim ini dapat dirasakan pada mencairnya es di kutub utara oleh pemanasan global pada bulan September 2007 dan Maret 2008 lalu. Jika hal ini terus berlanjut, maka tanah es abadi di Kutub Utara dapat diramalkan akan kehilangan esnya pada tahun 2012. Hal inilah yang kemudian berdampak pada naiknya permukaan laut. Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian serius oleh Indonesia. Dengan naiknya permukaan air laut maka akan mengancam kedaulatan wilayah Republik Indonesia yang terkenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Jika berbicara mengenai kedaulatan negara, tentunya kita akan memperhatikan tentang batas-batas negara, yaitu sejauh mana wilayah yang menjadi kekuasaan negara tersebut. Menarik hal tersebut ke Indonesia, tidak sedikit dari pulau-pulau kecil di Indonesia menjadi batas negara. Hal ini karena pulau-pulau tersebut berada pada posisi terluar sehingga menjadi titik dasar (TD), yaitu patokan ditariknya garis pantai menurut aturan Hukum Laut Internasional.
Ketika volume air meningkat, maka akan mengancam hilangnya sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia, terutama yang menjadi titik dasar. Yang menjadi permasalahan adalah dengan hilangnya pulau-pulau tersebut akan mempengaruhi kedaulatan RI. Batas-batas negara tidak lagi jelas ketika pantai yang menjadi tolak ukur Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) telah hilang. Akibatnya pengklaiman atas wilayah RI oleh negara lain sangat mungkin terjadi. Terlebih jika pada batas tersebut tidak memiliki atribut yang jelas tentang kepemilikan oleh Indonesia.
Permasalahan di laut akan semakin kompleks akibat semakin maraknya kegiatan di laut, seperti kegiatan pengiriman barang antar negara yang 90% dilakukan dari laut, ditambah lagi dengan isu-isu perbatasan, keamanan, kegiatan ekonomi dan sebagainya. Dapat dibayangkan bahwa penentuan batas laut menjadi sangat penting bagi Indonesia karena sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung dengan negara tetangga di wilayah laut. Batas laut teritorial diukur berdasarkan garis pangkal yang menghubungkan titik-titik dasar yang terletak di pantai terluar dari pulau-pulau terluar wilayah Republik Indonesia.
            Sebagai contoh, pulau Sambit dan Pelampong yang memiliki luas di bawah 5 km2. Pulau Sambit adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di Laut Sulawesi dan berbatasan dengan negara Malaysia. Pulau ini tidak memiliki penduduk, tetapi ada 5 orang petugas penjaga mercusuar. Luas keseluruhan pulau ini sekitar 3 km2 di mana 2,82 km2 merupakan pasir putih. Pulau Sambit dengan tipe pantai berpasir putih sangat rentan terhadap pengaruh oceanografi yang cukup ekstrem. Dilihat dari kondisi pasang surut yang terjadi di pesisir Pulau Sambit, wilayah pulau ini termasuk deratan dengan gelombang arus yang tinggi. Pada beberapa sisi pulau, proses abrasi oleh pengaruh gelombang dan arus laut telah mengubah bentuk pantai serta telah merusak beberapa fasilitas bangunan kompleks mercusuar yang telah ada.
Sedangkan, pulau Pelampong adalah pulau terluar Indonesia dengan luas 0,23 km² yang terletak di perbatasan Indonesia dengan Singapura. Walaupun menjadi salah satu titik dasar batas wilayah Indonesia, ternyata pulau ini tidak mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini terbukti dengan minimnya fasilitas yang ada. Meskipun terdapat mercusuar namun tidak ada yang bertugas menjaga. Selain itu, dari segi geografis kondisi pulaunya sangat rawan di mana tanahnya landai dan berpasir. Gelombang lautnya sedang dengan tinggi sekitar 0-1,5 m.
Masih mengacu pada potensi tenggelamnya pulau-pulau Indonesia. International Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa peningkatan laju pencairan es di Kutub telah mampu meningkatkan tinggi permukaan air laut antara 10-20 cm selama abad 20. IPCC juga memprediksikan bahwa rata-rata permukaan laut akan meningkat antara 9 hingga 88 cm yang akan terjadi antara tahun 1990 hingga tahun 2110. Hal ini sejalan dengan peningkatan suhu bumi dengan kisaran antara 1,4 hingga 5,8 ºC.
Sesuai dengan penjelasan kondisi pulau terluar Indonesia dan kecepatan peningkatan permukaan laut, maka kita tidak perlu menunggu hingga 2110. Pada tahun 2030 sudah dapat kita prediksikan bahwa sebagian besar pulau-pulau kecil yang berada di garis depan wilayah Indonesia akan tenggelam, mengingat pulau-pulau tersebut hanya berada pada ketinggian 0,5-1 m di atas permukaan laut. Pulau-pulau Indonesia yang berketinggian di bawah 0,5 m di atas permukaan laut diperkirakan akan hilang dalam tahun 2030.
Dengan hilangnya pulau yang menjadi batas negara, permasalahan yang pertama akan timbul adalah mengenai perbatasan dengan negara-negara tetangga. Walaupun telah ditetapkan berdasarkan prinsip akresi, tetapi konspirasi dalam hal wilayah perbatasan sangat mungkin terjadi. Wilayah Indonesia menjadi semakin sempit karena negara lain memiliki peluang untuk melakukan upaya perluasan wilayahnya yang akan memasuki ZEE Indonesia.
Pada intinya, semua permasalahan di atas bermuara pada suatu kesimpulan yaitu, kedaulatan wilayah Republik Indonsia terancam dan hal ini berarti menyimpang dari Konsep Wawasan Nusantara jika Indonesia tidak segera melakukan sesuatu. Indonesia harus segera melakukan upaya untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim. Efek yang ditimbulkan dari pencairan es di Kutub tidak dapat dipandang sebelah mata. Fenomena ini pada dasarnya dapat mengancam dan mempengaruhi kedaulatan wilayah Republik Indonesia yang terkenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Pada akhirnya, sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan pada tahun 2110 perlu ditinjau kembali.
Sebagai saran, banyak upaya yang sebenarnya dapat dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim.  Sebagai langkah awal, pemerintah Indonesia perlu untuk menyusun protokol nasional beserta rencana kerja dengan kerangka waktu jelas. Hal ini untuk memandu para pemangku kepentingan dan masyarakat Indonesia dalam pelaksanaan upaya pencegahan perubahan iklim yang ekstrem. Protokol tersebut juga berfungsi sebagai pengikat yang mengharuskan masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam mengurangi percepatan pencairan es di kutub.
Departemen Lingkungan Hidup hendaknya lebih terfokus pada hal-hal yang dapat menjadi faktor pencegah percepatan pemanasan global. Hal ini dapat direalisasikan, misalnya dengan jalan konservasi hutan dan lebih proaktif dalam menyosialisasikan isu-isu pemanasan global. Sejalan dengan hal itu,  Departemen Kelautan dan Perikanan hendaknya memberikan perlindungan laut dalam upaya memperlambat perubahan iklim. Perlu diingat bahwa Indonesia memiliki potensi dalam pencegahan hal tersebut karena Indonesia memiliki terumbu karang, padang lamun, dan biota laut lainnya yang dapat menyerap karbondioksida sebanyak 246 juta ton per tahun.
Pemanasan global yang berdampak pada pencairan es di Kutub adalah suatu permasalahan lintas sektoral yang mengintegrasikan permasalahan lingkungan dengan permasalahan politik. Oleh karena itu, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) hendaknya bekerjasama dengan Pemerintah Daerah setempat dalam melakukan pemetaan secara berkala terhadap pulau-pulau terluar Indonesia. Hal ini dilakukan guna mengetahui sejauh mana dampak pemanasan global sehingga dapat menghindari kemungkinan konflik batas wilayah dengan negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Peran Pemerintah Daerah juga diperlukan dalam hal pemeliharaan pulau. Pulau-pulau terluar hendaknya ditanami pohon-pohon bakau guna menahan abrasi oleh air laut.
Setelah melakukan pemetaan, TNI Angkatan Laut bekerjasama dengan Departemen Pertahanan dan Keamanan harus  menegaskan batas ZEE Indonesia. Batas-batas yang telah disepakati dalam perjanjian ini harus mampu ditunjukkan dalam peta. Dalam hal ini, wilayah Indonesia berbatas laut dengan India, Thailand, Singapura, Vietnam, Filipina, dan Australia. Sebagai tindak lanjut dari penegasan batas, perlu dilakukan upaya teknis berupa pembangunan mercusuar yang disertai dengan pemeliharaan berkelanjutan di tiap pulau-pulau terluar yang menjadi batas negara. Hal ini guna mencegah hilangnya jejak batas negara ketika pulau-pulau tersebut tenggelam.
Sebagai penunjang penegasan wilayah tersebut, dibutuhkan keahlian yang cakap dari Departemen Luar Negeri guna membuat sebuah perjanjian dengan negara-negara tetangga. Hal ini dianggap sangat perlu mengingat masih ada pulau pembatas yang belum dilakukan perjanjian terhadapnya. Hal ini tentunya berpotensi konflik bagi Indonesia dengan negara tetangga ketika pulau tersebut tenggelam.
Sebagai langkah akhir, peta atau daftar koordinat geografis Indonesia harus segera dipublikasikan secara wajar dan didepositkan pada Sekretaris Jenderal PBB. Dengan penyempuarnaan batas-batas wilayah Indonesia seperti itu, maka akan menciptakan wibawa negara Republik Indonesia dan terwujudnya rasa aman bagi segenap bangsa.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution