Oleh Humala Paulus
Halim
(Mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Universitas Indonesia)
Perubahan iklim
dewasa ini telah menjadi isu utama dan permasalahan bagi banyak negara,
khususnya Indonesia. Efek dari perubahan iklim ini dapat dirasakan pada
mencairnya es di kutub utara oleh pemanasan global pada bulan September 2007
dan Maret 2008 lalu. Jika hal ini terus berlanjut, maka tanah es abadi di Kutub
Utara dapat diramalkan akan kehilangan esnya pada tahun 2012.
Hal inilah yang kemudian berdampak pada naiknya permukaan laut. Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian serius oleh
Indonesia. Dengan naiknya permukaan air laut maka akan mengancam kedaulatan
wilayah Republik Indonesia yang terkenal sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia.
Jika berbicara mengenai kedaulatan
negara, tentunya kita akan memperhatikan tentang batas-batas negara, yaitu
sejauh mana wilayah yang menjadi kekuasaan negara tersebut. Menarik hal
tersebut ke Indonesia, tidak sedikit dari pulau-pulau kecil di Indonesia
menjadi batas negara. Hal ini karena pulau-pulau tersebut berada pada posisi
terluar sehingga menjadi titik dasar (TD), yaitu patokan ditariknya garis
pantai menurut aturan Hukum Laut Internasional.
Ketika volume air meningkat, maka akan
mengancam hilangnya sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia, terutama
yang menjadi titik dasar. Yang menjadi permasalahan adalah dengan hilangnya
pulau-pulau tersebut akan mempengaruhi kedaulatan RI. Batas-batas negara tidak
lagi jelas ketika pantai yang menjadi tolak ukur Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
telah hilang. Akibatnya pengklaiman atas wilayah RI oleh negara lain sangat
mungkin terjadi. Terlebih jika pada batas tersebut tidak memiliki atribut yang
jelas tentang kepemilikan oleh Indonesia.
Permasalahan di laut akan semakin
kompleks akibat semakin maraknya kegiatan di laut, seperti kegiatan pengiriman
barang antar negara yang 90% dilakukan dari laut, ditambah lagi dengan isu-isu
perbatasan, keamanan, kegiatan ekonomi dan sebagainya. Dapat dibayangkan bahwa penentuan batas laut menjadi
sangat penting bagi Indonesia karena sebagian besar wilayahnya berbatasan
langsung dengan negara tetangga di wilayah laut. Batas laut teritorial diukur
berdasarkan garis pangkal yang menghubungkan titik-titik dasar yang terletak di
pantai terluar dari pulau-pulau terluar wilayah Republik Indonesia.
Sebagai
contoh, pulau Sambit dan Pelampong yang memiliki luas di bawah 5 km2.
Pulau Sambit
adalah pulau terluar
Indonesia
yang terletak di Laut Sulawesi dan berbatasan dengan negara Malaysia. Pulau ini tidak
memiliki penduduk, tetapi ada 5 orang petugas penjaga mercusuar. Luas
keseluruhan pulau ini sekitar 3 km2 di mana 2,82 km2
merupakan pasir putih. Pulau Sambit dengan tipe pantai berpasir putih sangat
rentan terhadap pengaruh oceanografi
yang cukup ekstrem. Dilihat dari kondisi pasang surut yang terjadi di pesisir
Pulau Sambit, wilayah pulau ini termasuk deratan dengan gelombang arus yang
tinggi. Pada beberapa sisi pulau, proses abrasi oleh pengaruh gelombang dan
arus laut telah mengubah bentuk pantai serta telah merusak beberapa fasilitas
bangunan kompleks mercusuar yang telah ada.
Sedangkan, pulau Pelampong
adalah pulau terluar Indonesia dengan luas 0,23 km² yang terletak di perbatasan Indonesia
dengan Singapura. Walaupun menjadi salah satu titik dasar batas
wilayah Indonesia, ternyata pulau ini tidak mendapat perhatian yang cukup dari
pemerintah. Hal ini terbukti dengan minimnya fasilitas yang ada. Meskipun
terdapat mercusuar namun tidak ada yang bertugas menjaga. Selain itu, dari segi
geografis kondisi pulaunya sangat rawan di mana tanahnya landai dan berpasir.
Gelombang lautnya sedang dengan tinggi sekitar 0-1,5 m.
Masih
mengacu pada potensi tenggelamnya pulau-pulau Indonesia. International Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa
peningkatan laju pencairan es di Kutub telah mampu meningkatkan tinggi
permukaan air laut antara 10-20 cm selama abad 20. IPCC juga memprediksikan
bahwa rata-rata permukaan laut akan meningkat antara 9 hingga 88 cm yang akan
terjadi antara tahun 1990 hingga tahun 2110. Hal ini sejalan dengan peningkatan
suhu bumi dengan kisaran antara 1,4 hingga 5,8 ºC.
Sesuai dengan
penjelasan kondisi pulau terluar Indonesia dan kecepatan peningkatan permukaan
laut, maka kita tidak perlu menunggu hingga 2110. Pada tahun 2030 sudah dapat
kita prediksikan bahwa sebagian besar pulau-pulau kecil yang berada di garis
depan wilayah Indonesia akan tenggelam, mengingat pulau-pulau tersebut hanya
berada pada ketinggian 0,5-1 m di atas permukaan laut. Pulau-pulau Indonesia
yang berketinggian di bawah 0,5 m di atas permukaan laut diperkirakan akan
hilang dalam tahun 2030.
Dengan hilangnya pulau yang menjadi batas negara,
permasalahan yang pertama akan timbul adalah mengenai perbatasan dengan
negara-negara tetangga. Walaupun telah ditetapkan berdasarkan prinsip akresi,
tetapi konspirasi dalam hal wilayah perbatasan sangat mungkin terjadi. Wilayah
Indonesia menjadi semakin sempit karena negara lain memiliki peluang untuk
melakukan upaya perluasan wilayahnya yang akan memasuki ZEE Indonesia.
Pada intinya, semua permasalahan di atas bermuara
pada suatu kesimpulan yaitu, kedaulatan wilayah Republik Indonsia terancam dan hal
ini berarti menyimpang dari Konsep Wawasan Nusantara jika Indonesia tidak
segera melakukan sesuatu. Indonesia harus segera melakukan upaya untuk
mengurangi dampak dari perubahan iklim. Efek yang ditimbulkan
dari pencairan es di Kutub tidak dapat dipandang sebelah mata. Fenomena ini
pada dasarnya dapat mengancam dan mempengaruhi kedaulatan wilayah Republik
Indonesia yang terkenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Pada
akhirnya, sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan pada tahun 2110 perlu ditinjau
kembali.
Sebagai saran, banyak upaya yang sebenarnya dapat
dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim. Sebagai langkah awal, pemerintah Indonesia perlu untuk menyusun protokol nasional beserta
rencana kerja dengan kerangka waktu jelas. Hal ini untuk memandu para pemangku
kepentingan dan masyarakat Indonesia dalam pelaksanaan upaya pencegahan
perubahan iklim yang ekstrem. Protokol tersebut juga berfungsi sebagai pengikat
yang mengharuskan masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam mengurangi
percepatan pencairan es di kutub.
Departemen Lingkungan Hidup hendaknya lebih
terfokus pada hal-hal yang dapat menjadi faktor pencegah percepatan pemanasan
global. Hal ini dapat
direalisasikan, misalnya dengan jalan konservasi hutan dan lebih proaktif dalam
menyosialisasikan isu-isu pemanasan global. Sejalan dengan hal itu, Departemen Kelautan dan Perikanan hendaknya
memberikan perlindungan laut dalam upaya memperlambat perubahan iklim. Perlu
diingat bahwa Indonesia memiliki potensi dalam pencegahan hal tersebut karena
Indonesia memiliki terumbu karang, padang lamun, dan biota laut lainnya yang dapat
menyerap karbondioksida sebanyak 246 juta ton per tahun.
Pemanasan global yang berdampak pada pencairan es
di Kutub adalah suatu permasalahan lintas sektoral yang mengintegrasikan
permasalahan lingkungan dengan permasalahan politik. Oleh karena itu, Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) hendaknya bekerjasama
dengan Pemerintah Daerah setempat dalam melakukan pemetaan secara berkala
terhadap pulau-pulau terluar Indonesia. Hal ini dilakukan guna mengetahui sejauh mana dampak pemanasan global
sehingga dapat menghindari kemungkinan konflik batas wilayah dengan
negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Peran Pemerintah
Daerah juga diperlukan dalam hal pemeliharaan pulau. Pulau-pulau terluar
hendaknya ditanami pohon-pohon bakau guna menahan abrasi oleh air laut.
Setelah melakukan pemetaan, TNI Angkatan Laut
bekerjasama dengan Departemen Pertahanan dan Keamanan harus menegaskan batas ZEE Indonesia. Batas-batas
yang telah disepakati dalam perjanjian ini harus mampu ditunjukkan dalam peta. Dalam
hal ini, wilayah Indonesia berbatas laut dengan India, Thailand, Singapura, Vietnam, Filipina, dan Australia. Sebagai
tindak lanjut dari penegasan batas, perlu dilakukan upaya teknis berupa
pembangunan mercusuar yang disertai dengan pemeliharaan berkelanjutan di tiap
pulau-pulau terluar yang menjadi batas negara. Hal ini guna mencegah hilangnya
jejak batas negara ketika pulau-pulau tersebut tenggelam.
Sebagai penunjang penegasan wilayah tersebut, dibutuhkan keahlian yang
cakap dari Departemen Luar Negeri guna membuat sebuah perjanjian dengan
negara-negara tetangga. Hal ini dianggap sangat perlu mengingat masih ada pulau
pembatas yang belum dilakukan perjanjian terhadapnya. Hal ini tentunya
berpotensi konflik bagi Indonesia dengan negara tetangga ketika pulau tersebut
tenggelam.
Sebagai langkah
akhir, peta atau daftar koordinat geografis Indonesia harus segera
dipublikasikan secara wajar dan didepositkan pada Sekretaris Jenderal PBB. Dengan penyempuarnaan batas-batas
wilayah Indonesia seperti itu, maka akan menciptakan wibawa negara
Republik Indonesia dan terwujudnya rasa aman bagi segenap bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar